Kasyaf adalah salah satu karamah atau kelebihan yang diberikan Tuhan kepada hamba-hambaNya yang dikasihiNya. Apa yang ingin disebut di sini adalah kasyaf yang dianugerahkan Tuhan kepada kekasihNya atau waliNya.Walaupun tidak dinafikan, ada kasyaf yang didapati oleh orang awam, kasyaf sebegitu boleh menipu dan merosakkan diri merka. Kasyaf itu jika tidak dipimpin dan dijaga, nescaya menjadi istidraj kepada mereka.
Bagi wali Tuhan ini, hal-hal kasyaf sebenarnya telahpun dijanjikan Tuhan sepertimana dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman yang maksudnya: Orang yang mendekatkan diri kepadaKu, mengerjakan yang fardhu dan yang sunat, sehingga Aku cinta kepada mereka lalu Aku menjadi pendengaran mereka dan Aku menjadi penglihatan mereka.
Kasyaf kepada wali Allah ini ada banyak bahagiannya, seperti berikut:
1) Kasyaf Mata
Mata dapat melihat alam mawara-ul-maddah atau disebut sebagai alam yang seni-seni atau boleh disebutkan sebagai alam di luar kebendaan. Di sini, mata dapat melihat perkara-perkara ghaib seperti malaikat, jin dan syaitan. Kasyaf inilah yang menjadikan orang seperti Sayyidina Umar nampak apa yang sedang berlaku pada tentera-tenteranya. Karamah seperti ini penting kerana dapat menyelamatkan seluruh tentera Islam.
2) Kasyaf Telinga
Kasyaf telinga disebut juga hatif. Telinga boleh mendengar benda-benda yang ghaib. Mendengar suara tetapi tidak nampak lembaganya sama ada dari jin yang soleh, malaikat atau waliullah. Suara itu adakalanya membawa berita gembira, adakalanya berita yang negatif. Tujuannya ialah Allah hendak menghiburkan orang yang mendapatnya. Kalau berita itu berita gembira, boleh menggembirakannya. Sebaliknya, kalau berita itu berita duka, juga akan menggembirakannya kerana dia tahu terlebih dahulu, sekurang-kurangnya dia boleh bersiap menghadapi ujian itu. Atau dia boleh mengelak daripada bahaya itu.
3) Kasyaf Mulut
Tuhan beri kepada orang itu, lidahnya masin seperti doanya kabul atau apa yang dia sebut terjadi sama ada jangka pendek atau jangka panjang. Juga, di mana saja dia memberi kuliah, nasihat, tunjuk ajar, berdakwah dan sebagainya, ianya mudah diterima masyarakat dan boleh mengubah hati mereka. Akhirnya berubahlah sikap masyarakat. Karamah seperti ini biasanya dikurniakan kepada pemimpin.
4) Kasyaf Akal
Mendapat ilmu yang seni-seni yang Allah kurniakan pada seseorang terus jatuh ke hatinya. Ini terjadi tanpa dia belajar, tanpa membaca, tanpa mentelaah dan tanpa berguru. Dinamakan juga ilham atau ilmu laduni. Agar tidak terkeliru, perlu diingat orang yang hendak dapat ilmu laduni itu, dia mestilah dahulu ada ilmu asas iaitu ilmu fardhu ain.
5) Kasyaf Hati
Dinamakan juga firasat. Inilah kasyaf yang tertinggi daripada kasyaf-kasyaf yang disebutkan tadi. Biasanya dikurniakan kepada pemimpin. Itupun tidak banyak kerana Allah kurniakan hanya kepada pemimpin-pemimpin yang sangat soleh, yang sangat sabar menanggung ujian yang begitu berat ditimpakan kepada mereka. Kasyaf hati ialah rasa hati atau gerakan hati yang tepat lagi benar. Dia boleh menyuluh mazmumah yang seni-seni yang kadang-kadang kita membaca kitab tak mengerti. Termasuk juga adalah rasa hati dapat membaca diri seseorang. Nabi pernah bersabda, “Hendaklah kamu takuti firasat orang mukmin kerana dia melihat dengan pandangan Allah”. Apa yang dimaksudkan dengan firasat itu ialah kasyaf hati. Orang yang mendapatnya dapat memimpin diri dan dapat memimpin orang lain. Kalau tidak, seorang itu tidak layak jadi pemimpin. Kalau dia terus memimpin rosaknya lebih banyak daripada kebaikan.
Pada suatu hari yang amat panas, Rasulullah SAW berjalan menuju kompleks makam Baqi’ Al-Garqad. Pada saat itu, sekelompok orang berjalan mengikutinya. Ketika mendengar suara sandal, Rasulullah sadar (kalau ia sedang dibuntuti). Nabi lalu mempersilakan mereka lebih dahulu.
Ketika mereka berlalu, tiba-tiba ia memerhatikan dua makam baru yang isinya dua laki-laki. Nabi berdiri dan bertanya siapa orang yang berada di dalam makam ini? Mereka menjawab fulan dan fulan. Mereka kembali bertanya kepada Rasulullah, apa gerangan yang terjadi dengan makam baru itu?
Rasulullah menjawab bahwa salah seorang di antara keduanya dulu tidak bersih kalau ia membuang air kecil dan yang satunya selalu berjalan menebar adu domba. Lalu Rasulullah mengambil pelepah daun kurma yang masih basah, sahabat bertanya untuk apa itu dilakukan? Dijawab oleh Nabi, “Agar Allah SWT meringankan siksaan terhadap keduanya.”
Mereka bertanya lagi, “Sampai kapan keduanya diazab?” Dijawab, “Ini hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT. Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang aku dengar.” (HR Ahmad).
Dalam riwayat lain dijelaskan, Hanzalah bin Al-Rabi’Al-Usaidi berkata, “Abu Bakar datang kepadaku lalu bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan dirimu?’ Hanzalah menjawab, ‘Aku telah menjadi seorang munafik’.
Abu Bakar berkata, ‘Subhanallah, kamu berkata apa?’ Lalu, aku jawab, ‘Kita berada di samping Nabi saat Beliau menjelaskan kepada kita tentang surga dan neraka. Saat itu seolah-olah kita sedang menyaksikan surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika keluar dari majelis beliau, kita tenggelam dengan urusan anak istri dan hal-hal lain yang sia-sia, kita banyak lupa’.”
Abu Bakar bertanya, “Demi Allah sesungguhnya kami pun mengalami keadaan seperti itu?” Lalu, Abu Bakar berangkat hingga kami masuk ke ruangan Rasulullah, saat itu aku berkata, “Hanzalah menjadi seorang munafik wahai Rasulullah!”
Beliau bertanya, “Apa yang terjadi?” Lalu, aku jawab, “Kami berada di samping engkau saat engkau menjelaskan kepada kami tentang neraka dan surga. Saat itu seolah-olah kami melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami keluar dari sisimu, kami tenggelam oleh urusan anak, istri, dan hal-hal yang sia-sia, kami banyak lupa.”
Lalu, Nabi menjawab, “Demi Zat Yang Maha Menguasai jiwaku, seandainya kalian terus-menerus mengalami apa yang kalian alami saat berada di sisiku dan terusmenerus berzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian di tempat-tempat pembaringan kalian dan di jalan-jalan yang kalian lalui. Hanya saja wahai hanzalah, itu hanya terjadi sewaktu-waktu.” Beliau mengulang-ulangi perkataan ini tiga kali. (HR Muslim dan Tirmizi).
Dalam riwayat lain juga dijelaskan, sebagaimana diceritakan oleh Imam Bukhari dalam kitab Kitab “Jam’ul Fawaid”. Imam Bukhari meriwayatkan dari Usaid bin Hudhair, ketika ia membaca Surah Al-Baqarah di malam hari, sementara kudanya ditambatkan di sampingnya tiba-tiba kudanya meronta-ronta.
Ia menenangkan kudanya hingga tenang lalu melanjutkan bacaannya lagi, kembali kudanya meronta-ronta kemudian kembali menenangkan lagi. Kejadian ini berulang tiga kali. Ia juga memperingatkan
Usaid menengadah langit dan disaksikan ada naungan yang di dalamnya terdapat pelita besar. Ketika pagi tiba, ia melaporkan kejadian ini kepada Nabi. Nabi berkata, ‘Bacalah terus (Alquran itu) wahai Usaid!’ diulangi tiga kali. Aku juga menengok ke langit ternyata aku juga menemukan hal yang sama.
Nabi memberikan komentar, “Itu adalah para malaikat yang mendekati suaramu. Seandainya kamu terus membaca (Alquran) keesokan paginya manusia akan melihat para malaikat yang tidak lagi menyembunyikan wujudnya dari mereka.”
Ketiga hadis shahih di atas mengisyaratkan adanya penyingkapan (kasyaf), yaitu kemampuan seseorang untuk melihat atau menyaksikan sesuatu yang bersifat gaib, seperti melihat, mendengar, atau merasakan adanya suasana gaib. Apa yang disaksikan itu ber ada di luar kemampuan dan jangkauan akal pikiran manusia normal.
Kasyaf tidak hanya terjadi pada diri seorang nabi atau rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi manusia biasa yang mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya, walaupun sudah barang tentu, kapasitas kasyaf tersebut berbeda dengan penyaksian yang dialami oleh para nabi atau rasul.
Kasyaf dapat diakses oleh siapa saja yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah SWT. Hal itu ditekankan oleh Yusuf ibn Ismail An-Nabhani dalam karya monumentalnya berjudul “Jami’ Karamat Al-Auliya”.
Dalam kitab yang memuat biografi 695 wali (di luar wali-wali yang muncul di Asia Tenggara) itu, terlihat jelas betapa para wali rata-rata memiliki kemampuan untuk menggapai mukasyafah.
Termasuk di dalamnya Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Imam Syafi’i. Bentuk kasyafnya bermacam-macam. Sesuai kondisi objektif kehidupan para wali tersebut.
Rasulullah SAW juga pernah menegaskan, “Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak mengajak kalian untuk banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang aku dengar.”
Dalam hadis lain, sebagaimana dinukilkan dari kitab “Ihya Úlum Al-Din”, Rasulullah berkata, ”Seandainya bukan karena setan yang menyelimuti kalbu anak cucu Adam maka niscaya mereka akan dengan mudah menyaksikan para malaikat gentayangan di jagat raya kita.”
Di dalam Alquran juga ada isyarat yang memungkinkan seseorang memperoleh kasyaf. Ada beberapa ayat yang mengisyarakatkan demikian. Di antaranya, ayat 37 Surah Qaaf. “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.”
Ini diperkuat pula dengan ayat 69 Surah Al-Ankabut. Allah ber firman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Namun, Ibnu Athaillah mengingatkan kepada kita, jangan sampai lebih mengutamakan mencari kasyaf. Pernyataannya itu seperti termaktub dalam kitab “Hikam”-nya. Ia berkata, “Melihat aib di dalam batin lebih baik daripada melihat gaib yang tertutup darimu.”
“Boleh jadi Allah memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib kerajaan-Nya dan menutup kemampuanmu untuk meneliti rahasia-rahasia hamba-Nya, namun tidak berakhlak dengan sifat kasih Tuhan, niscaya penglihatannya menjadi fitnah baginya dan menyebabkan terperosok ke dalam bencana.”
[Prof Dr Nasaruddin Umar]
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah/Wakil Menteri Agama
Sumber: republika.co.id
![Foto: Tentang Kasyaf
Kasyaf tidak hanya terjadi pada diri seorang nabi atau rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi manusia biasa yang mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya.
Pada suatu hari yang amat panas, Rasulullah SAW berjalan menuju kompleks makam Baqi’ Al-Garqad.
Pada saat itu, sekelompok orang berjalan mengikutinya. Ketika mendengar suara sandal, Rasulullah sadar (kalau ia sedang dibuntuti). Nabi lalu mempersilakan mereka lebih dahulu.
Ketika mereka berlalu, tiba-tiba ia memerhatikan dua makam baru yang isinya dua laki-laki. Nabi berdiri dan bertanya siapa orang yang berada di dalam makam ini? Mereka menjawab fulan dan fulan. Mereka kembali bertanya kepada Rasulullah, apa gerangan yang terjadi dengan makam baru itu?
Rasulullah menjawab bahwa salah seorang di antara keduanya dulu tidak bersih kalau ia membuang air kecil dan yang satunya selalu berjalan menebar adu domba. Lalu Rasulullah mengambil pelepah daun kurma yang masih basah, sahabat bertanya untuk apa itu dilakukan? Dijawab oleh Nabi, “Agar Allah SWT meringankan siksaan terhadap keduanya.”
Mereka bertanya lagi, “Sampai kapan keduanya diazab?” Dijawab, “Ini hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT. Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang aku dengar.” (HR Ahmad).
Dalam riwayat lain dijelaskan, Hanzalah bin Al-Rabi’Al-Usaidi berkata, “Abu Bakar datang kepadaku lalu bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan dirimu?’ Hanzalah menjawab, ‘Aku telah menjadi seorang munafik’.
Abu Bakar berkata, ‘Subhanallah, kamu berkata apa?’ Lalu, aku jawab, ‘Kita berada di samping Nabi saat Beliau menjelaskan kepada kita tentang surga dan neraka. Saat itu seolah-olah kita sedang menyaksikan surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika keluar dari majelis beliau, kita tenggelam dengan urusan anak istri dan hal-hal lain yang sia-sia, kita banyak lupa’.”
Abu Bakar bertanya, “Demi Allah sesungguhnya kami pun mengalami keadaan seperti itu?” Lalu, Abu Bakar berangkat hingga kami masuk ke ruangan Rasulullah, saat itu aku berkata, “Hanzalah menjadi seorang munafik wahai Rasulullah!”
Beliau bertanya, “Apa yang terjadi?” Lalu, aku jawab, “Kami berada di samping engkau saat engkau menjelaskan kepada kami tentang neraka dan surga. Saat itu seolah-olah kami melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami keluar dari sisimu, kami tenggelam oleh urusan anak, istri, dan hal-hal yang sia-sia, kami banyak lupa.”
Lalu, Nabi menjawab, “Demi Zat Yang Maha Menguasai jiwaku, seandainya kalian terus-menerus mengalami apa yang kalian alami saat berada di sisiku dan terusmenerus berzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian di tempat-tempat pembaringan kalian dan di jalan-jalan yang kalian lalui. Hanya saja wahai hanzalah, itu hanya terjadi sewaktu-waktu.” Beliau mengulang-ulangi perkataan ini tiga kali. (HR Muslim dan Tirmizi).
Dalam riwayat lain juga dijelaskan, sebagaimana diceritakan oleh Imam Bukhari dalam kitab Kitab “Jam’ul Fawaid”. Imam Bukhari meriwayatkan dari Usaid bin Hudhair, ketika ia membaca Surah Al-Baqarah di malam hari, sementara kudanya ditambatkan di sampingnya tiba-tiba kudanya meronta-ronta.
Ia menenangkan kudanya hingga tenang lalu melanjutkan bacaannya lagi, kembali kudanya meronta-ronta kemudian kembali menenangkan lagi. Kejadian ini berulang tiga kali. Ia juga memperingatkan anaknya bernama Yahya agar menjauhi kudanya agar tidak disakiti.
Usaid menengadah langit dan disaksikan ada naungan yang di dalamnya terdapat pelita besar. Ketika pagi tiba, ia melaporkan kejadian ini kepada Nabi. Nabi berkata, ‘Bacalah terus (Alquran itu) wahai Usaid!’ diulangi tiga kali. Aku juga menengok ke langit ternyata aku juga menemukan hal yang sama.
Nabi memberikan komentar, “Itu adalah para malaikat yang mendekati suaramu. Seandainya kamu terus membaca (Alquran) keesokan paginya manusia akan melihat para malaikat yang tidak lagi menyembunyikan wujudnya dari mereka.”
Ketiga hadis shahih di atas mengisyaratkan adanya penyingkapan (kasyaf), yaitu kemampuan seseorang untuk melihat atau menyaksikan sesuatu yang bersifat gaib, seperti melihat, mendengar, atau merasakan adanya suasana gaib. Apa yang disaksikan itu ber ada di luar kemampuan dan jangkauan akal pikiran manusia normal.
Kasyaf tidak hanya terjadi pada diri seorang nabi atau rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi manusia biasa yang mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya, walaupun sudah barang tentu, kapasitas kasyaf tersebut berbeda dengan penyaksian yang dialami oleh para nabi atau rasul.
Kasyaf dapat diakses oleh siapa saja yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah SWT. Hal itu ditekankan oleh Yusuf ibn Ismail An-Nabhani dalam karya monumentalnya berjudul “Jami’ Karamat Al-Auliya”.
Dalam kitab yang memuat biografi 695 wali (di luar wali-wali yang muncul di Asia Tenggara) itu, terlihat jelas betapa para wali rata-rata memiliki kemampuan untuk menggapai mukasyafah.
Termasuk di dalamnya Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Imam Syafi’i. Bentuk kasyafnya bermacam-macam. Sesuai kondisi objektif kehidupan para wali tersebut.
Rasulullah SAW juga pernah menegaskan, “Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak mengajak kalian untuk banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang aku dengar.”
Dalam hadis lain, sebagaimana dinukilkan dari kitab “Ihya Úlum Al-Din”, Rasulullah berkata, ”Seandainya bukan karena setan yang menyelimuti kalbu anak cucu Adam maka niscaya mereka akan dengan mudah menyaksikan para malaikat gentayangan di jagat raya kita.”
Di dalam Alquran juga ada isyarat yang memungkinkan seseorang memperoleh kasyaf. Ada beberapa ayat yang mengisyarakatkan demikian. Di antaranya, ayat 37 Surah Qaaf. “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.”
Ini diperkuat pula dengan ayat 69 Surah Al-Ankabut. Allah ber firman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Namun, Ibnu Athaillah mengingatkan kepada kita, jangan sampai lebih mengutamakan mencari kasyaf. Pernyataannya itu seperti termaktub dalam kitab “Hikam”-nya. Ia berkata, “Melihat aib di dalam batin lebih baik daripada melihat gaib yang tertutup darimu.”
“Boleh jadi Allah memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib kerajaan-Nya dan menutup kemampuanmu untuk meneliti rahasia-rahasia hamba-Nya, namun tidak berakhlak dengan sifat kasih Tuhan, niscaya penglihatannya menjadi fitnah baginya dan menyebabkan terperosok ke dalam bencana.”
[Prof Dr Nasaruddin Umar]
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah/Wakil Menteri Agama
Sumber: republika.co.id](http://sphotos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/c0.0.292.292/p403x403/576510_3756530922485_1654345753_n.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar